Oknum Direktur Politeknik di Sumbar Terlibat TPPO, Alasan Magang Kirim Mahasiswanya Kerja di Jepang

Dirtipidum Bareskrim Polri, Brigjen Djuhandani Rahardjo Puro saat konfrensi pers terkait teesangja TPPO ini (int)

TELISIKNEWS.COM, SUMBAR – Sungguh luar biasa modus yang dilakukan oleh pihak kampus Politeknik di Sumatera Barat (Sumbar ) ini, yakni mengirimkan mahasiswanya magang di perusahaan di Jepang selama setahun.

Para korban sempat protes namun malah diancam akan di-DO (Drop out)  dari kampus.

Bacaan Lainnya

Namun modus tetsebut terbongkar,  sebanyak 11 mahasiswa yang menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) magang ke Jepang. Dan oknum Direktur di Politeknik tersebut menjadi tersangka  (TPPO).

Hal ini diketahui usai Dittipidum Bareskrim Polri membongkarnya melalui adanya dua laporan korban berinisial ZA dan FY ke KBRI Tokyo.

Dirtipidum Bareskrim Polri, Brigjen Djuhandani Rahardjo Puro mengatakan, peristiwa berawal ketika ZA dan FY bersama sembilan mahasiswa lainnya dikirim oleh politeknik yang terdaftar resmi di Sumbar untuk magang ke Jepang.

Faktanya,  bukannya menjalani program magang, namun para korban menjadi buruh tanpa libur di Jepang.

Djuhandani mengatakan, tertariknya para korban lantaran tersangka berinisial G menjelaskan keunggulan dari politeknik yang akan memberangkatkan mahasiswa untuk magang ke Jepang.

Sebagai informasi, pemaparan tersebut dilakukan G saat menjabat sebagai direktur di politeknik tersebut pada periode 2013-2018.

Lalu, pada tahun 2019, para korban pun dinyatakan lulus dan dapat mengikuti program ke Jepang selama setahun.

Namun, saat itu, jabatan G diganti oleh orang lain berinisial EH. Kini, EH pun ditetapkan menjadi tersangka.

“Selama satu tahun magang korban melaksanakan pekerjaan bukan layaknya magang. Akan tetapi bekerja sebagai buruh,” kata Djuhandani dalam konferensi pers di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Selasa (27/6/2023), dikutip dari YouTube Kompas TV.

Selama di Jepang, Djuhandani mengatakan para korban justru bekerja sebagai buruh dengan rentang waktu kerja selama 14 jam sehari dari pukul 08.00-22.00 waktu setempat.

Bahkan, korban pun tidak memperoleh libur dan harus bekerja selama tujuh hari.

Selain itu, istirahat yang diberikan kepada korban pun hanya selama 10-15 menit dan tidak diperbolehkan melakukan ibadah.

Selama bekerja, korban memperoleh upah sebesar 50 ribu yen atau setara dengan Rp 5 juta per bulan.

Anehnya lagi,  gaji tersebut tidak diterima seutuhnya lantaran mereka harus memberi dana kontribusi ke kampus sebesar 17.500 yen atau Rp 2 juta per bulan.

Selain itu, Djuhandani mengungkapkan bahwa para korban berangkat dengan menggunakan visa pelajar yang berlaku selama setahun.

Namun, saat visa pelajar mereka habis, pihak perusahaan yang memperkerjakan mereka mengurus visa para korban dengan visa kerja selama enam bulan.

Mengetahui hal tersebut, korban pun melapor ke politeknik yang memberangkatkannya.

Namun, bukannya membantu, politeknik tersebut justru mengancam para korban akan dikeluarkan dari kampus atau drop out (DO).

“Apabila kerja sama politeknik dengan pihak perusahaan Jepang rusak, maka korban akan di drop out (DO),” jelas Djuhandani.

Akibat perbuatannya, para tersangka dijerat dengan pasal 4 UU RI Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana  Perdagangan Orang (TPPO) dengan ancaman hukuman penjara maksimal 15 tahun dan denda paling banyak Rp 600 juta.

Serta, pasal 11 UU Nomor 21 Thaun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana  Perdagangan Orang dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara dan denda paling banyak Rp 600 juta. (red)

Sumber : Tribunnews.com

Pos terkait