Heru Hidayat, Terdakwa Korupsi PT ASABRI Dituntut Mati oleh Jaksa

Terdakwa Heeu Hidayat saat mendengarkan tuntutan JPU (ist).

TELISIKNEWS.COM,JAKARTA – Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Jakarta Timur membacakan tuntutannya terhadap Heru Hidayat menghadiri persidangan dengan dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam pengelolaan keuangan dan dana Investasi oleh PT. ASABRI (Persero)  periode tahun 2012  -2019.di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Kelas IA Khusus.

Jaksa penuntut menyatakan bahwa, pemberatan pidana atas perbuatan terdakwa Heru Hidayat merugikan keuangan negara sangat besar sebesar Rp22.788.566.482.083,00, dimana atribusi dari kerugian keuangan negara tersebut dinikmati terdakwa sebesar Rp.12.643.400 .946.226.

Bacaan Lainnya

Nilai kerugian keuangan negara dan atriubusi yang dinikmati oleh terdakwa Heru Hidayat sangat jauh diluar nalar kemanusiaan dan sangat menciderai rasa keadilan masyarakat.

Kemudian, sebelumnya terdakwa  Heru Hidayat juga telah dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) dengan nilai kerugian keuangan negara yang juga sangat fantastis sebesar Rp.16.807. 283.375.000,00, dengan atribusi yang dinikmati oleh terdakwa sebesar Rp.10.728.783.375.000.,00.

Selanjutnya, bahwa skema kejahatan yang telah dilakukan oleh terdakwa baik dalam perkara a quo maupun dalam perkara korupsi sebelumnya pada PT. Asuransi Jiwasraya, sangat sempurna sebagai kejahatan yang complicated dan sophisticated, karena dilakukan dalam periode waktu sangat panjang dan berulang-ulang. Selain itu melibatkan banyak skema termasuk kejahatan sindikasi yang menggunakan instrument pasar modal dan asuransi, menggunakan banyak pihak sebagai nominee dan mengendalikan sejumlah instrumen di dalam system pasar modal, menimbulkan korban baik secara langsung dan tidak langsung yang sangat banyak dan bersifat meluas.

Akibat perbuatan terdakwa telah menyebabkan banyak korban anggota TNI, Polri dan ASN/PNS di Kemenhan yang menjadi peserta di PT. ASABRI, hal ini juga termasuk dalam perkara korupsi pada PT. ASABRI dan juga korban-korban terhadap ratusan ribu nasabah pemegang polis pada PT. Asuransi Jiwasraya. Kata Leonard Eben Ezer Simanjuntak dalam siaran pers pada Telisiknews.com, Senin (6/12/2021).

Perbuatan Terdakwa telah mencabik-cabik rasa keadilan masyarakat dan telah menghancurkan wibawa negara karena telah menerobos sistem regulasi dan sistem pengawasan di Pasar Modal dan Asuransi dengan sindikat kejahatan yang sangat luar biasa berani, tak pandang bulu, serta tanpa rasa takut yang hadir dalam dirinya dalam memperkaya diri secara melawan hukum.

Terdakwa Heru Hidayat, kata Leonard tidak memiliki sedikitpun empati dengan beritikad baik mengembalikan hasil kejahatan yang diperolehnya secara sukarela serta tidak pernah menunjukkan bahwa perbuatan yang dilakukannya adalah salah, bahkan sebaliknya dengan sengaja berlindung pada suatu perisai yang sangat keliru dan tidak bermartabat bahwa transaksi di pasar modal adalah perbuatan perdata yang lazim dan lumrah.

Terdakwa dalam persidangan tidak menunjukkan rasa bersalah apalagi suatu penyesalan sedikitpun atas perbuatan yang telah dilakukannya, yang mengusik nilai-nilai kemanusiaan kita dan rasa keadilan sebagai bangsa yang sangat menjunjung nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan,” ujar Leonard.

Lanjut Leonard, terdakwa Heru Hidayat
telah melakukan 2 perbuatan korupsi yaitu dalam perkara Korupsi PT. AJS dan perkara Korupsi PT. Asabri, dimana keduanya bisa dipandang sebagai suatu niat dan objek yang berbeda, meskipun periode peristiwanya bersamaan (PT. AJS sejak 2008 s.d. 2018 dan PT. ASABRI sejak tahun 2012 s.d. 2019).

Dalam perkara korupsi pada PT. ASABRI dilakukan oleh terdakwa sejak periode sejak tahun 2012 s.d. 2019 yang berdasarkan karakterisktik perbuatannya dilakukan secara berulang dan terus menerus yaitu pembelian dan penjualan saham yang mengakibatkan kerugian bagi PT. ASABRI.

Selanjutnya terkait dengan dakwaan tidak menyebut Pasal 2 ayat (2), menurut penuntut umum frase “Keadaan tertentu” sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) adalah pemberatan pidana dan bukan sebagai unsur perbuatan, hal ini dicantumkan secara tegas dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (2) dalam UU Nomor 20 Tahun 2001, yaitu :
“Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi…”

Dalam Penjelasan Umum UU Nomor 20 tahun 2001 juga dinyatakan bahwa:
“Dalam rangka mencapai tujuan yang lebih efektif untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi, Undang-undang ini memuat ketentuan pidana yang berbeda dengan Undang-undang sebelumnya, yaitu menentukan ancaman pidana minimum khusus, pidana denda yang lebih tinggi, dan ancaman pidana mati yang merupakan Pemberatan Pidana”.

Dengan demikian, tidak dicantumkannya Pasal 2 ayat (2) seharusnya tidaklah menjadi soal terhadap dapat diterapkannya pidana mati karena hanya sebagai alasan pemberatan pidana, karena cukup terpenuhinya keadaan-keadaan tertentu yang dimaksud dalam pasal 2 ayat (2), maka penjatuhan pidana mati dapat diterapkan.

Keadaan tertentu sebagaimana dalam Pasal 2 ayat (2) berdasarkan karakteristiknya yang bersifat sangat jahat, maka terhadap fakta-fakta hukum yang berlaku bagi terdakwa  sangat tepat dan memenuhi syarat untuk dijatuhi pidana mati.

Maka dengan alasan pertimbangan dimaksud, Jaksa Penuntut Umum membacakan tuntutan terhadap terdakwa Heru Hidayat dengan amar putusan sebagai berikut:

Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melanggar Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan kedua primair Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Menghukum terdakwa Heru Hidayat dengan pidana mati dan membayar uang pengganti sebesar Rp 12.643. 400.946.226, dengan ketentuan jika terdakwa tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waktu 1 bulan sesudah putusan berkekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh Jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. Pungkas Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung RI, Leonard Eben Ezer Simanjuntak ( Luk).

Editor : Nikson Juntak

Pos terkait

Konten berbayar berikut dibuat dan disajikan oleh advertiser. Wartawan Telisiknews.com tidak terlibat dalam aktivitas jurnalisme artikel ini.